Teriakan anak-anak memperebutkan bola membuat sore tetap penuh semangat. Lapangan rumput yang cukup luas di depan pondok tak bergeming, terinjak puluhan bahkan ratusan kaki. Sementara saya dan beberapa orang lain hanya duduk di pinggir lapangan, menikmati masa-masa injury time matahari.
Setiap sore di tempat itu selalu digelar permainan bola. Tanpa wasit, jumlah pemain tak terbatas dan juga tiada waktu jeda. Sekali main, puluhan hingga ratusan menit berlalu, terus hingga capek dan selesai. Pemain baru bisa langsung masuk tanpa harus ada sesi pergantian. Kostumnya pun bebas, barcelona, real madrid, juventus hingga persepam, semua turut ambil bagian di even akbar ini. Seru, bagi mereka yang main tentunya.
Kadang ada pelanggaran, namun segera berlalu disikapi tawa dan guyonan renyah di antara mereka. Gol pun tidak membuat tim yang kebobolan terlalu sedih. Yang penting permainan terus berlanjut.
Pecinta sepak bola negeri ini begitu luar biasa. Namun atmosfer kompetisi dan prestasinya tidak menggembirakan. Penuh dengan emosi dan saling menyalahkan. Baik pemain, manajemen hingga penontonnya punya satu kesamaan, yaitu tidak siap untuk kalah. Padahal kita tahu bahwa dalam kekalahan ada pelajaran berharga. Lebih mengerti kapasitas diri, mencari teknik yang belum dikuasai hingga peluang untuk bersikap lebih dewasa.
Tidak hanya bola, para politisi, praktisi berbagai profesi hingga akademisi juga banyak yang tidak siap kalah. Suasana “kompetisi” berbangsa dan bernegara pun menjadi tidak sehat.
Bersama dengan datangnya shalawat untuk adzan magrib, matahari tenggelam di ufuk barat, menyerah pada malam. Tidak bosan memberi kita contoh tentang sikap mengalah, kebesaran hati dan harmoni hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar