Kamis, 01 Desember 2016

DESA

13 Maret 2016

Berkunjung ke mahasiswa KKN saya anggap sebagai sebuah rekreasi. Di atas motor Mas Edy saya menikmati betapa kaya alam kita. Sawah-sawah dan ladang yang ditumbuhi padi atau jagung pancarkan gelombang hijau klorofil menembus mata. Sementara ratusan capung beterbangan riang, menjadi bioindikator bahwa air di kawasan itu masih belum tercemar.
Keluh kesah para mahasiswa menyambut kedatangan kami. Berbagai cerita dan pengalaman tidak menyenangkan segera berhamburan. Saya hanya tersenyum sambil membesarkan hati mereka, “Memang tujuan utama KKN ini agar kalian dapat mengalami secara langsung pahit getir kehidupan desa, sembari berupaya menerapkan ilmu.”
“Yang paling sulit adalah mengubah pola pikir para orang tua pak, mereka menganggap kami sebagai anak-anak kemarin sore yang nggak tahu apa-apa,” curhat sang ketua. Kembali saya mengingatkan bahwa pola pikir tidak bisa berubah dalam waktu singkat. Teringat betapa di tempat sendiri, saya pun melebur dalam stratifikasi sosial yang harus patuh pada tradisi. Masyarakat butuh bukti bahwa kita bisa melakukan sesuatu, bukan hanya lewat teori dan kata-kata bijak.
Yang mengherankan adalah betapa mudahnya mereka “ngikut” budaya televisi? Dari mulai anak kecil hingga kakek nenek menjadi murid yang patuh di hadapan kotak hiburan tersebut. Sementara kebanyakan program televisi hanya berorientasi keuntungan materi.
Hujan menemani kami berdua saat pulang. Karena sangat deras dan Mas Edy lupa jas hujannya, terpaksa kami berteduh di sebuah warung reyot pinggir jalan di antara luasnya tegal jagung. Ah, kopi dan kacang goreng di bawah hujan deras terasa begitu nikmat. Alhamdulillah.


MEWARNAI

7 Maret 2016

Beberapa bulan terakhir ini Irfan dan Ilma memiliki dunia baru, yaitu dunia mewarnai. Tidak hanya aktivitas di Taman Kanak-kanak, mereka berdua bahkan mendalami kegiatan tersebut pada sebuah les di kota Bondowoso. Setiap minggu pagi atau selasa sore, bersama ibunya, mereka menempuh puluhan kilometer hanya untuk les mewarnai.
Saya setuju saja pada hal itu asalkan anak-anak menyukainya. Tidak hanya melatih motorik halus, mewarnai juga mengajarkan kesabaran, ketelitian, nilai seni yang saya rasa dapat membesarkan jiwa anak-anak. Beberapa perlombaan mereka ikuti untuk lebih menambah semangat dan kepercayaan diri. Pada pengalaman menang dan kalah sama-sama terdapat pelajaran yang mendewasakan.
Entah apa yang mereka rasakan saat ujung krayon atau spidol di tangan mereka memberi perubahan warna pada bentuk-bentuk dua dimensi di atas kertas. Saya tidak dapat mendeskripsikannya karena memang dulu dunia saya memiliki warna yang berbeda.
Saat sekolah saya baru menyadari bahwa warna-warna adalah “fatamorgana” yang dimunculkan oleh saraf indera kita ketika menangkap pantulan gelombang cahaya yang berbeda. Meskipun kita sepakat warna merah itu seperti apa, namun masing-masing di antara kita tidak dapat memastikan apakah sensasi merah yang kita cerap benar-benar sama.
Ketika mengajar atau berkumpul bersama keluarga, warna-warna setiap orang yang berbeda menyeruak memenuhi ruang dimana kita berinteraksi. Semua adalah unik. Diri saya sendiri adalah coretan krayon di atas kertas, di antara ribuan coretan berwarna yang lain, mencoba untuk menyusun harmoni sehingga hidup ini menjadi lebih indah. Seirama dengan fitrah dari Sang Maha Cahaya.


PASAR TRADISIONAL

27 Februari 2016

Salah satu aktivitas yang saya senangi adalah menemani istri ke pasar. Bersama Irfan dan Ilma, kita nikmati bagaimana kesemrawutan yang klasik. Berbagai aroma tumpang-tindih melebur menusuk hidung. Tapi toh kita pun terbiasa.
Ibu-ibu adalah para penguasa pasar, para bapak tak berdaya di tempat itu. Untuk uang seratus rupiah saja berbagai strategi negosiasi digunakan. Kalau saya amati, sebenarnya mereka tidak cuma mencari untung materi tapi juga kepuasan sosial. Bukankan menurut penelitian komunikasi adalah juga kebutuhan dasar manusia?
Sehabis dari pasar, Irfan dan Ilma biasanya mengajak ke Indomart untuk membeli es krim. Filosofi tempat itu berbalik drastis. Ketenangan, sejuk-wangi, kenyamanan memilih dan kepastian harga benar-benar dijaga. Membuat kita betah.
“Tapi di pasar pak, seribu rupiah uang yang kita keluarkan akan mengalir dari tangan ke tangan memberi keuntungan untuk masing-masing dari mereka. Menghidupkan ekonomi masyarakat. Kalo Indomart semua uang itu akan segera terbang ke Jakarta, meninggalkan ekonomi daerah yang sepi.” Terbayang bagaimana Mas Edi, ekonom di kantor kami, menjelaskan tentang pasar tradisional sahabat masyarakat yang perlahan mati diterjang kapitalis.
Pagi perlahan sirna ketika kita berempat melaju melewati jalan di antara sawah-sawah menghijau. Irfan dan Ilma bernyanyi membayangkan es krim yang nanti mereka nikmati. Sementara kresek yang penuh berisi barang belanja menggelayut senang, menyimak obrolan sang presiden dan menteri ekonominya.


DAN MEMANG MASIH HARUS BELAJAR LAGI

22 Februari 2016

Pada hampir setiap aktivitasnya, seorang muslim membaca bismillahirrahmanirrahim, dengan keyakinan bahwasannya kasih dan sayang Allah selalu mengguyur kita. Tak ada cerita bagi kita untuk merayakan hari kasih sayang tertentu. Setiap waktu selalu penuh kasih, dari Allah dan juga harapannya antar sesama manusia.
Anehnya, Februari tanggal 14 tahun ini ternyata bermakna spesial bagi saya. Bukan karena hari kasih sayang, tapi karena Universitas Negeri Yogyakarta, yang entah kenapa memilih tanggal itu, mengadakan ujian masuk bagi mahasiswa baru.
Jantung saya berdebar-debar, bukan karena jatuh cinta lagi, tapi karena harap-harap cemas. Malam harinya sulit tidur, meski sudah mematikan lampu toh baru pukul dua bisa terlelap. Jadi mikir, beginikah kondisi mahasiswa-mahasiswa saya yang akan menghadapi ujian?
Belajar tidak harus menunggu sekolah lagi. Bagi praktisi pendidikan, belajar bisa dilakukan secara otodidak melalui berbagai jenis media dan pengalaman nyata. Kekaguman saya untuk figur seperti Kyai Idris Jauhari yang menjadikan seluruh hidupnya sebagai kampus. Namun jika sekolah lanjut bisa dilakukan tentu harus saya tempuh, minimal sebagai penyegar ingatan mengenai tugas kita di dunia belajar.
Belajar bagi Ki Hadjar dapat memanusiakan manusia. Hal itu, menurut Cak Nur, terutama disebabkan karena belajar dapat membuat kita menginsyafi betapa besarnya rahman dan rahim Allah. Karena itu belajar menjadi wajib bagi manusia.


MASIH HARUS BELAJAR LAGI

19 Februari 2016

Kening berkerut-kerut mendapati soal kelas dua SD yang dilontarkan ponakan saya. Tentang perbedaan merayap dan melata. “Sepertinya sama saja …” Keraguan akhirnya membuat kami bertanya pada mbah Google.
Ternyata beda, merayap masih menggunakan otot tungkai seperti kadal atau cecak, sedangkan melata benar-benar menggunakan otot perut seperti seekor ular. Karena itu gerak tentara disebut merayap bukan melata.
“Lucu ya, soal anak kelas 2 SD ternyata belum tentu bisa dijawab oleh lulusan S2. Kita memang masih harus banyak belajar lagi ya yah …” itulah akhirnya kesimpulan yang didapat oleh isteri saya.
Pikiran saya ingin sekali menjelaskan bahwa sekolah tidak membuat kita menjadi mesin penghafal. Tidak mungkin kita sanggup mengingat semua materi yang kita pelajari selama puluhan tahun tersebut dengan baik. Yang masih melekat adalah kemampuannya, yaitu bagaimana mencari, memilih dan mengolah informasi untuk memecahkan persoalan, serta berbagai skill yang kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang utama juga adalah membentuk karakter.
“Hehe iya!” Tapi toh kata-kata singkat itu yang keluar dari mulut saya. Bukankah ujung dari belajar, seperti halnya kegalauan yang dialami Einstein, adalah kesadaran bahwa kita hanya tahu ampasnya saja?


PARA PEREMPUAN MASA DEPAN

17 Februari 2016

Berada di depan para calon ibu, guru, ekonom, ilmuwan dan bahkan presiden itu membuat semangat saya membumbung. Melewati atap lantai tiga gedung IDIA Prenduan Jumat sore itu. Kita tak terpengaruh oleh malasnya hujan, yang hanya rintik tak jelas sampai kapan.
Memberi materi kepemimpinan dengan pengalaman yang tidak seberapa seperti saya adalah sebuah simalakama. Tapi saya tak mau hanya memaparkan teori, harus ada kenyataan yang disajikan. Karena itu saya meminta bantuan para pemimpin teladan, mulai dari Baginda Nabi, Soekarno, Kyai Idris hingga Ibu Risma.
Di zaman dimana dunia semakin mirip kampung kecil ini, pemimpin adalah makhluk yang sangat langka. Tumpukan informasi dan iklan bercampur aduk membuat kita sulit memilh, mana yang benar dan mana yang hanya terlihat benar.
“Saya tidak pernah mimpi menjadi pemimpin tapi teman-teman memilih, bahkan memaksa saya!” curhat salah seorang mahasiswi peserta acara tersebut. Pertanyaan adalah sebuah peluang emas bagi setiap guru, saya pun menyambarnya. Inti kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi berlandaskan kepercayaan pun mengalir deras.
“Jangan takut, pilihan teman-teman anda menunjukkan bahwa anda memiliki potensi dan kelebihan.” Saya tidak dapat memastikan apakah benar-benar mereka memahaminya, namun sinar di wajah-wajah itu cukup memuaskan hati.
Saya pulang dengan sekotak kue, kepuasan karena berbagi ilmu dan sekaligus pertanyaan terhadap diri sendiri. Tentang kekalahan pada waktu dan pengetahuan tak seberapa yang semakin usang.


Sabtu, 26 November 2016

ALUN-ALUN DAN GERBONG MAUT

9 Februari 2016

Bersama ratusan pasang kaki yang lain, kami memasuki area "car & motor free" di seputaran alun-alun Bondowoso dan monumen gerbong maut. Minggu pagi kelabu berselimut mendung tidak membuat layu semangat kami. Jalan-jalan pagi bersama keluarga begitu mahal untuk dilewatkan.
Udara bersih dan aneka cemilan murah menjadi demikian istimewa. Puluhan patung pahlawan korban gerbong maut Belanda juga seolah tersenyum melihat keceriaan kami. Melirik patung-patung manusia di depan gerbong itu membuat saya sedikit malu, seolah kisah tragis mereka justru kita jadikan area bermain.
Tapi bukankah kita semua juga demikian? Setiap senyum dan kesejahteraan yang kita rasakan adalah hasil jerih payah dan pengorbanan para pendahulu. Tanpa kita menyadarinya.
Pikiran dan perasaan saya full oleh Keceriaan dan tawa anak-anak, hingga satu detik mengingatkan saya pada kunci motor yang ternyata tidak ada di posisinya yang biasa, yaitu saku celana. "Celaka??!" Saya pun berlari menuju tempat parkir yang sudah nampak kosong.
Alhamdulillah motor kami masih ada. Bapak tukang parkir tersenyum melihat kepanikan saya. "Lain kali jangan sampai lupa kuncinya mas," katanya seraya menyerahkan kunci motor kepada saya.
Alun-alun dan monumen gerbong maut sudah kembali seperti biasa. Ratusan motor dan mobil yang angkuh berseliweran melewatinya. Momen demi momen berlalu menjadi cerita, yang hanya bermakna bagi mereka yang mau merenunginya.


BOLA DI BAWAH MATAHARI SORI

3 Februari 2016

Teriakan anak-anak memperebutkan bola membuat sore tetap penuh semangat. Lapangan rumput yang cukup luas di depan pondok tak bergeming, terinjak puluhan bahkan ratusan kaki. Sementara saya dan beberapa orang lain hanya duduk di pinggir lapangan, menikmati masa-masa injury time matahari.
Setiap sore di tempat itu selalu digelar permainan bola. Tanpa wasit, jumlah pemain tak terbatas dan juga tiada waktu jeda. Sekali main, puluhan hingga ratusan menit berlalu, terus hingga capek dan selesai. Pemain baru bisa langsung masuk tanpa harus ada sesi pergantian. Kostumnya pun bebas, barcelona, real madrid, juventus hingga persepam, semua turut ambil bagian di even akbar ini. Seru, bagi mereka yang main tentunya.
Kadang ada pelanggaran, namun segera berlalu disikapi tawa dan guyonan renyah di antara mereka. Gol pun tidak membuat tim yang kebobolan terlalu sedih. Yang penting permainan terus berlanjut.
Pecinta sepak bola negeri ini begitu luar biasa. Namun atmosfer kompetisi dan prestasinya tidak menggembirakan. Penuh dengan emosi dan saling menyalahkan. Baik pemain, manajemen hingga penontonnya punya satu kesamaan, yaitu tidak siap untuk kalah. Padahal kita tahu bahwa dalam kekalahan ada pelajaran berharga. Lebih mengerti kapasitas diri, mencari teknik yang belum dikuasai hingga peluang untuk bersikap lebih dewasa.
Tidak hanya bola, para politisi, praktisi berbagai profesi hingga akademisi juga banyak yang tidak siap kalah. Suasana “kompetisi” berbangsa dan bernegara pun menjadi tidak sehat.
Bersama dengan datangnya shalawat untuk adzan magrib, matahari tenggelam di ufuk barat, menyerah pada malam. Tidak bosan memberi kita contoh tentang sikap mengalah, kebesaran hati dan harmoni hidup.


LIMA BELAS MENIT PENUH CINTA

31 Januari 2016

Seperti biasa, istirahat dari ngajar saya ngumpul bersama para guru di kantor. Ditemani potongan kue, air mineral dan susu hangat (yang dari dulu tidak pernah saya bisa suka) kita lalui lima belas menit jeda yang begitu indah. Di sekolah, wajah-wajah itulah keluarga saya.
Tidak hanya humor yang membuat kami tertawa, bahkan masalah-masalah pun seperti berakhir indah di bibir. Yah, minimal untuk sesaat.
Berbagai karakter memenuhi ruang itu. Mulai dari yang hanya fokus makan, lebih senang ngobrol, memberi ide-ide hingga yang penuh keluh kesah. Toh semua terikat erat oleh tali kasih sayang sebagai pendidik. Kita seperti kacang, cabe, petis, sayur, buah dan lontong. Berbeda-beda namun dalam kesatuan yang enak saja di lidah.
Saya jadi membayangkan, jika saja semangat dan ikatan seperti ini dapat terwujud dalam banyak dimensi kehidupan masyarakat, alangkah hebatnya! Sembuhlah bangsa kita dari penyakit utamanya saat ini, yaitu low trust society.
Lima belas menit itu cepat sekali berlalu. Bel masuk berbunyi, semua bersiap kembali menjalani skenario. Menjadi aktor di hadapan puluhan pasang mata dan telinga yang kami cinta.


MUSIM HUJAN

20 Januari 2016

Pagi kelabu karena mendung menaungi bumi dari pancaran sinar mentari. Saya melangkah di jalan beraspal yang membelah lapangan menghijau penuh rumput musim penghujan. Tampak dua orang ibu tua sedang berlomba menyabit rumput untuk pakan ternak mereka. Maklumlah, penghujan musim ini pelit air hingga rumput tak selebat musim-musim sebelumnya.
Di bis mini, terdengar celoteh penumpang lelaki tentang jagung-jagung yang kerdil dan banyak mati karena cuaca dan air yang sulit. Sopir dan kenek bis tak menjawab, hanya sesekali bersuara “hmm sepi, sepi …” Hingga sampai kampus, cuma saya seorang penumpang yang tersisa.
Cemara-cemara di kampus dipangkas karena musim angin. Para dosen tampak cemberut dengan setumpuk kertas koreksian setelah ujian akhir semester. Sementara penjaga kantin lesu karena para mahasiswa langganannya pada libur. Melewati ruang "chek in" sempat saya lirik berita di koran tentang bupati Bangkalan yang dikeluhkan Mendagri dan wakil gubernur gara-gara jarang ngantor.
Akhirnya hujan jatuh juga. Bersyukur karena saya sudah sampai di kantor. Menyaksikan bagaimana milyaran tetes air mengguyur pepohonan, jalan-jalan hingga atap gedung, seolah hendak menyapu bersih semua masalah yang ditimbulkan manusia.


ROMANTIS

31 Oktober 2015

Kendaraan yang saya tumpangi sore itu sungguh spesial. Sang sopir rupanya membawa anaknya yang masih kecil, kira2 berusia lima tahun. Pembicaraan mereka berdua membuat saya benar2 tertarik untuk "nguping."
Rupanya sang anak tidak mau sekolah lagi. Dari usianya saya rasa ia masih TK. "pokoknya aku tak mau sekola lagi pak." Sang ayah yang berkulit gelap namun ramah dan sabar tampak tersenyum, "ya sudah, kalau tak sekola ya tak jadi beli tas."
Si anak terdiam sambil cemberut. Tampaknya terjadi perang batin dalam dirinya. Antara kemalasan pergi ke sekolah dengan keinginan kuat untuk punya tas baru dengan gambar2 favorit di punggungnya. Sementara sang ayah bernyanyi2 santai sambil nyopir.
Sungguh romantis pemandangan dan drama sore itu. Saya cuma bisa tersenyum.

INDONESIA

29 Oktober 2015

Setelah Belanda menerapkan politik etis, menyekolahkan para bangsawan pribumi karena tuntutan gerakan humanisme di eropa, maka mulailah bersemi kesadaran nasional di dada para pemuda pribumi di awal abad 19. Sejarah panjang pahlawan dari berbagai pelosok negeri yang masih bersifat kedaerahan memberi mereka pelajaran besar bahwa bangsa ini harus bersatu untuk benar2 lepas dari penjajahan.
Indonesia masih kalah luas dengan kawasan Majapahit silam. Namun kebesaran jiwa yang dicita-citakan para pemuda haruslah melebihi kerajaan besar itu, agar tidak senasib yaitu hancur karena keserakahan para pimpinannya sendiri. Jiwa besar bangsa tersebut mulai benar2 diwujudkan ketika para pemuda bersumpah untuk berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu yaitu Indonesia.
Berbagai momen perjuangan yang meminta pengorbanan darah dan cita2 individual akhirnya membawa kita pada bentuk Republik. Suatu bentuk yang sejak abad 4 SM telah diyakini Plato sebagai bentuk negara terbaik, bahkan melebihi demokrasi Athena yang membunuh Sokrates.
Kemerdekaan bukan ujung kebahagiaan namun baru awal yang masih menuntut perjuangan. Dari sejarah ini saya merenungkan makna pendidikan yang berpegang pada cinta kebenaran. Yang ternyata dalam kondisi apapun sanggup membawa manusia pada revolusi positif. Perubahan besar harus dimulai dari kesadaran berpikir. Sepertinya itulah yang Allah hendak tunjukkan.


NEGERI ASAP

25 Oktober 2015

Setiap tahun, khususnya di musim kemarau, Indonesia memproduksi asap. Disebabkan oleh hutan dan lahan gambut yang terbakar, atau lebih tepatnya dibakar oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Apalagi dengan uang mereka dapat membeli kekuasaan pemerintah daerah untuk mengubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha.
Belasan tahun kita memproduksi asap, namun masih ditolong oleh hujan. El nino membuat kemarau tahun ini demikian panjang hingga asap menggila. Bencana nasional kabut asap membuat rakyat menjerit, aktivitas ekonomi macet dan sekolah2 libur. Hanya Jawa, Bali dan Nusa tenggara yang belum terpapar. Namun siapa yang tahu apa yang terjadi di hari2 ke depan?
Keluhan dan kekecewaan teman-teman dari pulau-pulau yang terpapar asap telah lama saya baca. Namun tak sanggup berbuat apapun. Hanya mata yang menjadi terbuka akan lemahnya negara ini dalam melindungi hutan2 yang menjadi hak rakyat dan juga makhluk hidup di dalamnya (karena manusia adalah khalifah bagi makhluk hidup lain).
Beberapa hari ke depan masyarakat di daerah rawan, terutama orang tua dan anak2 akan dievakuasi ke tempat yang lebih aman seperti kantor-kantor pemerintah. Jika manusia saja harus pindah dari rumah, saya tidak dapat membayangkan bagaimana dengan hewan2 yang habitatnya adalah hutan. Mau kemana mereka?


Selasa, 22 November 2016

RUMAH SAKIT

16 Oktober 2015

Keluhan, tangis kesakitan bahkan jeritan keluarga yang ditinggal mati sang sakit menjadi drama yang harus saya simak beberapa hari terakhir. Lebih dari seminggu saya tinggal di rumah sakit, menunggui Irfan yang dalam masa perawatan.
Waktu mencekam, setiap detik saya harus bersiap dengan segala macam kesedihan. Rumah sakit membuat kita merasa dekat dengan akhirat. Itulah salah satu hikmah yang sepertinya membuat Nabi menganjurkan kita menjenguk orang sakit.
Di sisi lain, kesedihan dan kekhawatiran membuat manusia panik dan emosional. Kondisi yang harus dihadapi oleh para dokter dan perawat. Mereka juga manusia dengan banyak keterbatasan, namun seringkali kaluarga pasien berharap jauh lebih dari itu.
Alhamdulillah kami berada di rumah sakit dengan lingkungan bersih, dokter-perawat yang cepat tanggap akan keluhan pasien, gemericik kolam ikan dan wangi tetumbuhan yang seolah menetralisir aroma obat, bakteri dan kematian. Hal2 tersebut bagi saya sangat penting untuk kesembuhan.
Hidup, sehat, sakit dan mati adalah milikNya. Kapan dan bagaimana kita diberi adalah rahasia besar. Sebagai manusia kita berusaha, namun harus diakhiri oleh sikap pasrah (walaupun teramat sulit), maka hidup akan penuh hikmah. InsyaAllah.


JOGJAKARTA

6 Oktober 2015

Tahun 2015 ini kembali Jogjakarta menjadi provinsi dengan indeks kejujuran tertinggi dalam pelaksanaan Ujian Nasional Indonesia. Sungguh membuat hati saya iri berat. Enam provinsi lain yang berhasil melaksanakan UNAS dengan jujur adalah daerah luar jawa.
Bagi banyak orang, terutama yang telah menganggap kejujuran telah mati, prestasi seperti itu tidak begitu membanggakan. Toh tidak menghasilkan barang atau uang bagi masyarakat. Itulah tampaknya yang membuat banyakguru, sekolah atau dinas pendidikan lebih rela mengajari siswa tidak jujur daripada kehilangan prestise dan dicap "gagal."
Saya tidak berniat mengekspos kesalahan-kesalahan. Yang ingin saya katakan adalah bagaimana kita dapat meneladani Jogjakarta untuk jujur secara akademis. Kondisi tersebut pasti berkaitan dengan paradigma dan budaya masyarakat hingga situasi politik pemerintahannya. Apakah terlalu sulit untuk dicontoh?
Seringkali saya mendengar pakar yang begitu terkesima oleh proses pendidikan di Finlandia, Jepang atau negara maju lainnya. Padahal tidak terlalu jauh, kita juga punya Jogjakarta yang saya yakin lebih realistis untuk kita jadikan rujukan.


DUNIA DI HATI KITA

4 Oktober 2015

Gelembung2 sabun menghiasi pagi, seperti puluhan planet beterbangan di kamar mandi. Belum lagi kicau suara yang menggetarkan jantung seiisi rumah. Ia tak suka mandi, tapi toh ibu akan terus memaksanya.
Setelah segar oleh air anugerah alam pegunungan. Ilma biasanya menuntut ibu untuk menguncir atau mengepang rambutnya, seperti para puteri idolanya di televisi. Senyumnya menerbitkan lesung pipit yang hanya sebelah. Saya rasa kecantikan pagi pun takluk.
Dunia sebenarnya tak pernah berubah. Perubahan yang terjadi adalah siklus yang mengantar pemeran utama sebelum aktor pengganti mengambil gilirannya. Dunia yang indah, suram atau menyedihkan adalah permainan hati kita, demikian ungkap imam al Ghazali.
Bumi adalah debu di keluasan bima sakti. Tapi toh hati kita mampu menelan galaksi itu. Apapun kata dunia, bagi saya ilma adalah yang tercantik. Setelah ibunya tentu saja.


BEDA ITU INDAH

1 Oktober 2015

Pernikahan salah satu hikmahnya bagi saya adalah mengajari tentang sesuatu yang tersembunyi di balik perbedaan. Dalam obrolan sehari2 sering saya dan istri menganalisis banyaknya perbedaan yang kami punya. Mulai dari selera makan, hobi, kemampuan sosial hingga berbagai hal yang tidak disukai. Sekilas, beda itu rumit, bikin masalah dan tidak menyenangkan.
Tujuh tahun berlalu setelah pernikahan kami. Terlihat istri saya banyak berubah, atau lebih tepatnya ia berusaha keras untuk berubah. Mulai dari selera makan, cara bersikap hingga keinginan2 yang ingin diraihnya. Semua ia sesuaikan dengan kondisi saya, suaminya. Di situ saya melihat dan merasakan cinta kasih sayang. Saya jadi mengerti indah di balik perbedaan.
Allah tentunya bisa menciptakan kita yang sama tanpa perbedaan. Tapi sepertinya Dia hendak memberi kita hidup yang indah. Sesuai dengan maqam penghayatan masing-masing.
Kadang istri saya bertanya, apakah cinta dan sayang saya masih seperti dulu. Membayangkan semua yang telah dilakukannya, saya tidak pede untuk menjawab pertanyaan itu.


Jumat, 18 November 2016

PERPUS

28 September 2015

Siang yang terang benderang. Beberapa tetes bening keringat menghiasi dahinya. Segera. Tanpa pikir panjang Irfan melepas seragam putih merah yang sejak kemarin menempel di kulit coklatnya. Berganti setelan kaos dan jaket abu2 kesukaannya.

Suara lembut ibu menegurnya penuh rindu. Beberapa bulan terakhir irfan memang lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan kota ketimbang rumah. Selain buku dan komputer, tempat ibadah, ruang musik dan lapangan olah raga menjadi fasilitas yang membuat perpus favorit untuk anak2. Apalagi makan pagi dan sore gratis.

Seluruh aktivitas di perpus tercatat melalui kartu anggota yang harus digunakan saat mau masuk atau keluar ruangan. Print out aktivitas akan ditagih ibu di rumah untuk menenangkan hatinya. Begitulah kaum ibu, tak pernah rela melepas buah hatinya seratus persen.

Tidak hanya perpus, seluruh alam sebenarnya penuh berisi huruf2 yang dapat kita baca. Allah yang menulisnya. Kita hidup, melalui masa kecil hingga kakek nenek sepertinya juga merupakan sebuah kunjungan ke perpus yang maha besar.


DEKAT

26 September 2015

Hari raya qurban tahun ini lebih spesial, karena diikuti oleh acara pernikahan famili di samping rumah. Melalui qurban, orang2 kaya mendekatkan diri kepada kaum fakir dengan harapan lebih dekat pada Allah. Sementara pernikahan mendekatkan dua keluarga besar, juga harapannya dengan ridha Allah.

Agama mengarahkan kita dekat satu sama lain. Bayangkan saja keindahan hidup yang dimunculkan oleh pertemanan yang akrab atau kehangatan suasana keluarga yang rukun. Kekuatan suatu bangsa juga sangat ditentukan oleh kedekatan para pemimpinnya kepada rakyat. Tentu saja bukan kedekatan yang dibuat-buat.

Benang yang mengikat manusia dengan manusia lain adalah empati. Yang akan melahirkan rasa ingin memberi dan berbagi. Sepertinya itulah arketipe kedamaian yang kita coba hadirkan dan hayati selama ini.


KULIAH PERDANA

21 September 2015

Hari itu adalah kuliah perdana setelah liburan yang cukup panjang. Udara pagi bersiul-siul meniup rambut saya di sepanjang perjalanan menuju kampus. Kaki-kaki mahasiswa berdentam ciptakan irama khas, sepintas gaduh namun sebenarnya tidak. Tawa mereka seperti harmonika, netralkan segala masalah. Pantaslah jika tak ada satu masalah pun yang sanggup hentikan tawa dan gurauan itu. Lagi pula, memang hanya itu kekuatan mereka untuk menghadapi dunia.

Slide power point, kasus menarik serta selingan humor telah saya siapkan untuk pertemuan perdana tersebut. Mengajar seperti berada di tengah orkestra musik klasik. Kadang memberimu semangat, namun bisa juga membuat ngantuk.

Ketika mahasiswa aktif berpendapat atau bertanya, rasanya seperti mendengarkan suara emas sami yusuf. Karena di situlah puncak keberhasilan pembelajaran. Mungkin saya seperti plato, yang agak pesimis dengan kekacauan elit politik, egosentrisnya para borjuis atau emosi kaum jelata. Hingga akhirnya hanya bisa berharap pada perubahan melalui dinding-dinding akedemia yang musiknya saya aransemen sendiri.


KAMPUS CEMARA

16 September 2015

Demikian kita menyebut kampus yang menjadi tempat berbagai aktivitas akademik kami setiap hari. Di setiap tempat selalu tertanam pohon cemara, dimana kanopinya yang meneduhkan menjadi saksi bagaimana mahasiswa menunggu kuliah, membaca, menulis laporan atau bergurau.

Cemara di kampus kita adalah cemara udang, yaitu jenis yang terdapat di pantai lombang sumenep. Daunnya seperti jarum dan tersusun menyebar layaknya payung bagi kita di bawahnya. Cemara ini tahan kondisi panas dan tanah yang kering. Saking akrabnya dengan cemara, maka ia menjadi tujuan kampus ini melalui semboyan cemara (cendekiawan madura). Begitulah manusia yang menurut Bruner begitu penuh dengan simbol-simbol.

Pada setiap kelulusan saya selalu berpesan untuk para wisudawan agar benar-benar menjadi seorang sarjana yang cendekia. Sederhananya seperti cemara udang di kampus kita itulah, tahan panas dan tanah kering namun senantiasa hijau dan meneduhkan.


HADIAH

12 September 2015

Sebuah video klip saya buat sebagai hadiah untuk ulang tahun ilma tahun ini. Ia sangat senang melihatnya. Dari itu saya sadari bahwa hadiah untuk anak tidak hanya berupa barang seperti mainan, baju atau makanan saja. Dengan bantuan teknologi, hadiah yang bersifat abstrak pun dapat menyenangkan hati mereka.

Sebagai orang tua, kesenangan terbesar adalah ketika anak kita senang. Tentu anda setuju dengan pernyataan itu.

Selama ini banyak orang menganggap bahwa rezeki hanya berupa uang atau materi yang lain. Padahal begitu banyak rezeki yang lain yang tidak sanggup kita lihat jika tidak direnungkan. Kesehatan, usia, hubungan baik, pengetahuan hingga kesempatan bersama keluarga adalah contoh2 ringan. Karena itu jangan terlalu iri dengan orang kaya atau pejabat karena bisa jadi pada bentuk2 rezeki yang lain mereka tidak sebanding dengan yang anda miliki.

Setiap dari kita memiliki kelebihan rezeki yang unik. Berbeda satu sama lain. Sayang, sepertinya rumput tetangga selalu lebih hijau. Sehingga kita lupa merawat dan memanfaatkan rumput di halaman sendiri.


KAUM SOFIS

8 September 2015

Harus saya akui, mengajar dengan bayaran lebih dari cukup, memiliki kesamaan dengan kaum sofis. Golongan guru di zaman Yunani kuno 2500 tahun silam, yang secara massal membuat rakyat Yunani menjadi dominan dapat baca tulis, pemikir dan suka diskusi. Sayangnya orientasi mereka akan materi semakin lama semakin menjadi sehingga menyebarkan keyakinan betapa kebenaran adalah milik si kaya dan penguasa. Survival for the fittest. Pada akhirnya Yunani hancur oleh kelalaian dan relativisme moral.

Tujuan pemerintah mengucurkan tunjangan yang cukup melimpah bagi guru adalah mulia. Namun kita harus hati2 akan karakter sofis yang dapat menjerumuskan pada kehancuran. Memakmurkan keluarga para guru harus diimbangi dengan kontrol agar materi bukan sebagai tujuan utama.

Apapun kurikulumnya, penentu kualitas sekolah adalah guru. Semoga setiap rupiah yang dikucurkan pemerintah untuk para guru dan dosen di negeri ini benar2 memberikan perubahan positif.


RAKSASA

4 September 2015

Raksasa itu bernama Surabaya. Kukunya tajam mencengkeram bumi. Nafasnya pekat menutup langit. Seluruh tubuhnya dilapisi beton, panas menyengat. Jutaan manusia dilahapnya tanpa kenal kasihan. Termasuk juga saya, hari ini melarut di aliran pembuluh darahnya, yang telah penuh kolesterol sehingga bertekanan tinggi.

Saya membayangkan raksasa ini telah lanjut usia. Sel-sel yang telah tua sulit untuk beregenerasi. Walaupun lipstik dan kosmetik tebal terpakai namun tak sanggup menutupi kulit yang keriput. Jangan cari kicauan burung atau aliran air jernih bersama udara segar di dalamnya. Yang ada burung di kurungan, udara segar palsu atau air segar hasil impor dari daerah lain. Nikmat Tuhan seolah terbungkus rapat tak terlihat oleh tabir polusi. Sementara mobil dengan isi orang-orang berdasi lalu lalang di antara kuli, anak jalanan dan pedagang asongan. Saya melihat banyak sarana bagus namun menjenuhkan karena bertumpuk kekurangan ruang.

Saya bertanya, seperti inikah ujung dari pembangunan, ilmu pengetahuan atau teknologi? Jawabannya tak akan mudah. Kota adalah raksasa penghias mimpi semua anak di dunia, termasuk saya, anda dan para tokoh besar bangsa ini.


BAHAGIA

31 Agustus 2015

Singapura, negara dengan segudang prestasi dan perekonomian tinggi, menghadapi permasalahan pelik terkait jumlah penduduk yang sulit beregenerasi. Hal itu disebabkan karena masyarakat yang sebagian besar sudah tidak mau punya anak. Bagi mereka anak tidak akan membawa kebahagiaan karena begitu repot dan mahalnya biaya perawatan anak di negara itu. Pemikiran tersebut tampaknya sudah berakar kuat, tak berubah walau pemerintah sudah memberikan tunjangan bagi siapapun yang mau mempunyai anak.

Bagi kita di Indonesia peristiwa tersebut adalah sungguh aneh. Bikin geleng-geleng kepala. Kok bisa anak dianggap menghambat kebahagiaan. Di negara ini anak justru merupakan sumber kebahagiaan, banyak anak banyak rezeki katanya. Mereka yang sudah menikah namun bertahun-tahun tidak punya anak akan menjadi risau, gelisah dan sedih. Mengangkat anak pun tak akan dapat menggantikan kebahagiaan memiliki anak dari kandungan sendiri.

Ujung-ujungnya saya bertanya pada diri sendiri, apa ukuran kebahagiaan itu. Uang, keluarga, profesi, kesenangan atau apa? Sepertinya mudah namun sulit untuk dijelaskan. Sampai-sampai para ahli psikologi behavior pun (seperti paflov dan skinner) menganggap psikologi manusia sebagai kotak hitam yang tidak akan terlihat bagaimana kondisi di dalamnya. Anda-anda mungkin juga pernah mengalami pemikiran seperti ini sebelum akhirnya harus kembali sibuk dengan berbagai pekerjaan. Atau mungkin kebahagiaan itu justru dimiliki oleh mereka yang sudah tidak memikirkan dan mencarinya lagi? Wallahua'lam.


SENJA

23 Agustus 2015

Bis Akas yang saya tumpangi melaju dari Situbondo, mengejar senja ke barat Surabaya. Masih teringat pertanyaan Irfan saat menonton film kartun kesukaannya, "senja itu apa yah?" Setiap kata baru yang didengar atau dibacanya akan berbuah pertanyaan seperti itu. Rasanya menyenangkan ketika anak kita masih memiliki ketertarikan yang kuat akan pengetahuan. Tugas saya adalah menjaga agar ketertarikan itu semakin menyala terang namun bertahan lama. Jawablah dengan latar pemahaman mereka. "Senja itu sore, yaitu saat matahari pulang ke rumahnya di ujung barat sana."

"Hei matahari, jangan pulang. Mainlah ke rumahku!" Tentu kalimat lugu itu akan membuat kita tersenyum.

Senja di masa puncak kemarau memaparkan suasana kering penuh daun gugur di pinggiran jalan. Nafas berat saya hembuskan, seiring kemarau sosial yang dialami Indonesia. Para pengamen silih berganti mendendangkan semangat yang menyedihkan. Liriknya kadang menyinggung orang berpendidikan yang hanya mampu memperkaya diri. Miris tapi nyata, lihat saja berapa banyak PT yang dibekukan dan ribuan ijazah palsu di negeri ini. Senja, kemarau, kesusahan, jatuh bangun suatu bangsa dan bahkan sehelai daun gugur pun adalah taqdir Allah yang harus kita baca. Semoga "matahari" benar-benar mau singgah dan menerangi rumah kita.


PEDULI

21 Agustus 2015

Lucu melihat Irfan dan Ilma ketakutan pada ayam betina yang telur2nya telah menetas dan menjadi galak minta ampun. Sejak zaman dahulu begitulah ayam, menurut Mendel gen tubuh mereka telah terprogram untuk menjadi lebih ganas saat menjadi seekor induk. Sederhana, biasa saja namun sekaligus mengagumkan. Macan yang ganas pun peduli pada anak-anak mereka. Kepedulian ibu terlihat pada semua mahkluk, dan itulah yang menjadi pondasi bangunan kehidupan.

Pada diri manusia, yang berakal dan sadar akan keberadaan dirinya, peduli tidak hanya muncul untuk menyelamatkan anak-anaknya tapi lebih luas. Peduli pada keluarga, sahabat, golongan, sesama manusia dan bahkan peduli pada semua makhluk. Kepedulian pada diri manusia dapat mengangkatnya ke derajat yang agung. Peduli tidak selalu sama dengan memberi. Peduli terletak di hati. Seorang jutawan dapat menyumbang jutaan rupiah tanpa sedikitpun rasa peduli pada orang miskin melainkan hanya maksud2 politis. Rasa ini diasah oleh kesadaran sebagai hamba yang diciptakan untuk kebaikan.

Zaman yang semakin mendukung individualitas ini membuat kita dapat melihat bagaimana bangunan kehidupan menjadi semakin rapuh. Polusi, bencana, kerusakan moral hingga perang adalah akumulasi kepedulian yang hanya tercurah untuk "aku." Tidak mudah untuk mewujudkan kepedulian. Bukan karena lawan yang besar dan ganas, tapi justru yang lemah dan tak terlihat. Yaitu diri kita sendiri.


DUNIA PARALEL

18 Agustus 2015

Umumnya kita menganggap bahwa tujuan harus dibuat sebelum aktivitas dilakukan. Demikianlah teori-teori mainstream mengajari kita. Anda yang mempelajari metode ilmiah juga akan bersikukuh bahwa tujuan di awal akan membuat sesuatu menjadi jelas dan efektif. Sayangnya realitas tidak menghamparkan kejadian-kejadian yang sederhana seperti dalam teori. Seringkali keputusan-keputusan harus dibuat sebelum kita tahu sebenarnya apa yang terjadi. Yang penting jalan dulu!

Edward De Bono, sang ahli strategi berpikir asal Malta juga memaparkan karakter utama pikiran dan realitas adalah sama, keduanya terjadi tidak secara serial melainkan paralel. Segala sesuatu tidak tersusun secara rapi dan berurutan, tetapi bertumpuk, berpilin, saling merajutkan diri dan terus aktif mirip gerak zigzagnya Robert Brown. Karena itu kemampuan membangun tujuan-tujuan secara paralel akan membuat hidup lebih efektif dan bermakna.

Contohnya ketika anda harus mengantar keluarga pulang, anda dapat menyisipkan berbagai tujuan di dalamnya seperti sekalian membuat suasana jalan-jalan, mengajari anak-anak berbagai pengalaman baru yang kontekstual, menjalin hubungan yang lebih dekat, membuat anda lebih paham karakter dan bakat mereka dan juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Bisa jadi lebih banyak tujuan lagi! Sesungguhnya biasa dan istimewa benar-benar tipis jaraknya. Desain Allah pada alam demikian sempurna, namun ia tidak akan menampakkan diri sampai manusia menyingkapnya.


CERITA

10 Agustus 2015

Berbagi cerita dengan salah seorang penyiar Rasda FM yang juga pecinta sejarah. Berawal dari kisah diri hingga epos purbakala para tokoh kerajaan di Indonesia. Mulai Ken Arok, Raden Wijaya, Arya Wiraraja, Gajah Mada hingga Sunan Kalijaga. Sungguh menyenangkan. Dalam setiap kisah terdapat makna yang mematangkan ego. Tawa dan kelindan pikiran menghanyutkan waktu seakan kita berada dalam keabadian, walau sekejab.

Jika anda merasa miskin coba lihatlah Arok, kalau anda dihianati tirulah Wijaya, ketika kawan anda dilanda kesulitan berkacalah pada Wiraraja, andai tanggung jawab pemimpin anda terima ambillah semangat Mada, dan jika anda seorang ilmuwan pencari kebenaran bisa anda baca bagaimana Kalijaga berproses. Setiap penggal kehidupan mereka begitu berarti bagi siapapun yang mau mengkaji.

Manusia adalah makhluk yang menyejarah. Dalam setiap peristiwa sejarah harusnya kita belajar, salah satunya di bulan Agustus ini. Mengapa tokoh-tokoh bangsa kita menginginkan kemerdekaan? Lantas apakah memang kondisi seperti yang kita rasakan saat ini yang menjadi tujuannya? Waktu dan generasi boleh berganti, namun sejarah sosial manusia memiliki pola yang relatif sama, demikian pendapat sang sosiolog pertama dunia Ibnu Khaldun.


TRADISI

7 Agustus 2015

Ramai berita mengenai terobosan Pak Anis Baswedan untuk menghapus perpeloncoan saat ospek masuk sekolah. Suatu tradisi yang sudah berlangsung sangat lama. Dan mungkin dianggap biasa walau beberapa kali kita temukan korban berjatuhan dari acara tersebut. Keburukan yang dianggap biasa, seperti misalnya menyontek, korupsi atau berhubungan di luar nikah muncul karena penanganan yang kurang menyeluruh, setengah hati dan hanya berlaku untuk kalangan tertentu (ingat peribahasa pisau tajam ke bawah tumpul ke atas).

Butuh kesadaran dan ketelitian seorang pemimpin untuk menganalisis kebiasaan-kebiasaan masyarakat mana yang penting untuk diperbaiki. Bahkan sesuatu yang remeh sekalipun dapat berdampak besar ketika telah menjangkiti persepsi masyarakat secara masif, bahkan menjadi tradisi. Kebaikan manusia lahir dari keyakinan dan persepsinya akan peran dan hidup yang baik pula.

Tugas utama guru, menurut William James, adalah membentuk kebiasaan dan tradisi yang baik pada diri siswa. Saya yakin itu berawal dari persepsi dan keyakinan guru akan perannya sendiri.


PROTES

3 Agustus 2015

Seorang teman dosen bercerita tentang anak kecilnya yang begitu suka protes jika diberitahu sesuatu. Saya katakan, "layani dengan baik agar dia paham. Jangan cuek, bisa jadi minat bertanya dan dialognya akan hilang."

Protes anak-anak adalah normal. Bisa jadi memiliki kebenarannya sendiri. Contohnya ketika kita menyuruh mereka tidur sementara kita sendiri tidak tidur, tentu mereka protes. Akibatnya kita harus mau menemani mereka tidur dulu. Proses dialektika yang baik antara anak dan orang tua tidak hanya akan mengembangkan nalar dan kesadaran mereka. Di sisi lain orang tua pun belajar untuk menjadi lebih bijak.

Senyum, tawa dan tangis anak-anak adalah momen paling dramatis dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah wujud kepercayaan Allah. Dan seperti kata Leo Tolstoy, sastrawan terbesar Rusia, "the only way to teach your children to be better, is to be better yourself."


MUSIM GARAM

30 Juli 2015

Sumenep di pagi kemarau telah demikian panas. Tak enak memang, tapi cuaca ini adalah berkah bagi para petani garam. Tentu saja, kristal putih itu tak akan muncul jika cahaya matahari kurang terik. Di bulan-bulan Juli Agustus seperti ini kita dapat melihat bagaimana para petani membangun bukit-bukit garam di tambak mereka. Walau masih kalah bersaing dengan garam asing, tapi mereka tak pernah gentar atau berhenti.
Perlu diketahui bahwa pembuatan garam di Sumenep telah berlangsung lima abad (sejak abad 15). Dipelopori oleh seorang panglima perang Bali yang dikalahkan oleh raja Sumenep. Nama panglima itu Anggosuto. Kemungkinan pengetahuan membuat garam telah dimilikinya sejak dari Bali. Di zaman Belanda, garam Madura menjadi industri yang besar, berlanjut hingga saat ini namun kurang berkembang. Saya rasa akan terus demikian jika bukan anak-anak tanah ini sendiri yang melakukannya.
Saya bermimpi bumi Madura suatu ketika dapat melahirkan ahli-ahli garam yang dapat membuka mata dunia bahwa garam bukan hanya pelengkap masakan tapi inti citarasa, pendukung berbagai industri dan bahkan memiliki potensi pengobatan berbagai jenis penyakit. Seperti prinsip Sukarno, Apa yang mustahil bagi semangat generasi muda berilmu?


PESIMIS

28 Juli 2015

Nenek itu adalah penjual bunga di pasar Saronggi. Tepatnya bunga-bunga untuk ziarah. Bersamanya dalam satu kendaraan menuju Sumenep membuat telinga cukup panas. Bagaimana tidak, dengan gaya nenek-nenek cerewet tak kenal takut ia menghujat berbagai profesi seperti polisi, bupati bahkan kyai. Ia menyebut mereka sebagai "maling samar" karena tujuan utamanya hanyalah uang. Sementara penumpang lain memberinya "kompor" dan menganggap celoteh itu cukup menghibur.

Sang nenek mengatakan bahwa maling jaman sekarang adalah maling bersepatu. Tentu saya risih karena saat itu juga bersepatu. Namun pandangan pesimis pada tatanan masyarakat adalah realita saat ini.

Pandangan hidup lahir dari pengalaman sehari-hari yang bertumpuk dan mengendap dalam pikiran. Di sisi lain ia akan menuntun pendapat-pendapat dan perilaku kita. Jung menyebutnya paradigma. Mengubah paradigma amat sangat sulit, kecuali kita mau "out of the box." Mencari hidayah melalui iman, ilmu dan menghancurkan ego kebenaran diri. Insyaallah.


KE KEBUN BINATANG

26 Juli 2015

Menggunakan gaya Montessori, sang pakar pendidikan legendaris dari Italia, saya bertanya pada Irfan dan Ilma. "Besok sabtu kita mau belajar ke toko buku atau kebun binatang?" Kontan keduanya menjawab kebun binatang. Memang mereka belum pernah ke tempat tersebut, apalagi terdapat motivasi kuat untuk bertemu ibu pengasuh Marsya (maksud saya, beruang). Jadilah, dengan menumpangi kapal feri dan bis kota kita berempat dengan beberapa anggota keluarga yang lain menuju KBS. Seperti perkiraan sebelumnya, anak-anak begitu ceria bertemu dengan aneka hewan yang sebelumnya hanya dapat mereka temui di buku atau film. Alam memang selalu menarik, keagungan Allah terpancar dari keberadaan mereka. Tidak mungkin semua ini ada secara kebetulan. Bahkan pada saat para orang dewasa telah kehabisan energi, anak2 tetap antusias.
Matahari telah mulai tenggelam ketika rombongan kembali ke Madura. Laut, angin, lampu-lampu jalanan dan suara dengung carry menjadi penutup acara jalan-jalan ini. Alhamdulillah.




DUNIA LAIN

22 Juli 2015

Berkunjung ke mertua yang sakit dengan membawa anak-anak memang dilematis. Di satu sisi mereka senang bertemu cucu, tapi di sisi lain rumah menjadi sangat gaduh karena menjadi arena bermain. Anak-anak, walaupun hidup dan tumbuh bersama kita, namun sesungguhnya memiliki dunia lain. John Dewey menyebutnya dunia bermain, dimana satu-satunya tujuan yang ada dalam dunia itu adalah main. Mereka berpikir, melatih otot dan keterampilan, serta menumbuhkan empati sosial melalui bermain. Berbeda dengan dunia orang dewasa yang sudah terisi dengan beraneka tujuan hidup atau bahkan setelah hidup.
Sebagai orang tua, saya dan istri belajar untuk memahami dunia tersebut. Menjaga mereka dari bahaya. Dan tak lupa, mengarahkan serta membimbing anak-anak untuk menemukan tujuan-tujuan hidup yang akan menjadi kompas mereka sebagai manusia dan hamba Allah kelak. Semoga semua berjalan dengan baik.