Jumat, 18 November 2016

BAHAGIA

31 Agustus 2015

Singapura, negara dengan segudang prestasi dan perekonomian tinggi, menghadapi permasalahan pelik terkait jumlah penduduk yang sulit beregenerasi. Hal itu disebabkan karena masyarakat yang sebagian besar sudah tidak mau punya anak. Bagi mereka anak tidak akan membawa kebahagiaan karena begitu repot dan mahalnya biaya perawatan anak di negara itu. Pemikiran tersebut tampaknya sudah berakar kuat, tak berubah walau pemerintah sudah memberikan tunjangan bagi siapapun yang mau mempunyai anak.

Bagi kita di Indonesia peristiwa tersebut adalah sungguh aneh. Bikin geleng-geleng kepala. Kok bisa anak dianggap menghambat kebahagiaan. Di negara ini anak justru merupakan sumber kebahagiaan, banyak anak banyak rezeki katanya. Mereka yang sudah menikah namun bertahun-tahun tidak punya anak akan menjadi risau, gelisah dan sedih. Mengangkat anak pun tak akan dapat menggantikan kebahagiaan memiliki anak dari kandungan sendiri.

Ujung-ujungnya saya bertanya pada diri sendiri, apa ukuran kebahagiaan itu. Uang, keluarga, profesi, kesenangan atau apa? Sepertinya mudah namun sulit untuk dijelaskan. Sampai-sampai para ahli psikologi behavior pun (seperti paflov dan skinner) menganggap psikologi manusia sebagai kotak hitam yang tidak akan terlihat bagaimana kondisi di dalamnya. Anda-anda mungkin juga pernah mengalami pemikiran seperti ini sebelum akhirnya harus kembali sibuk dengan berbagai pekerjaan. Atau mungkin kebahagiaan itu justru dimiliki oleh mereka yang sudah tidak memikirkan dan mencarinya lagi? Wallahua'lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar