Kamis, 01 Desember 2016

DESA

13 Maret 2016

Berkunjung ke mahasiswa KKN saya anggap sebagai sebuah rekreasi. Di atas motor Mas Edy saya menikmati betapa kaya alam kita. Sawah-sawah dan ladang yang ditumbuhi padi atau jagung pancarkan gelombang hijau klorofil menembus mata. Sementara ratusan capung beterbangan riang, menjadi bioindikator bahwa air di kawasan itu masih belum tercemar.
Keluh kesah para mahasiswa menyambut kedatangan kami. Berbagai cerita dan pengalaman tidak menyenangkan segera berhamburan. Saya hanya tersenyum sambil membesarkan hati mereka, “Memang tujuan utama KKN ini agar kalian dapat mengalami secara langsung pahit getir kehidupan desa, sembari berupaya menerapkan ilmu.”
“Yang paling sulit adalah mengubah pola pikir para orang tua pak, mereka menganggap kami sebagai anak-anak kemarin sore yang nggak tahu apa-apa,” curhat sang ketua. Kembali saya mengingatkan bahwa pola pikir tidak bisa berubah dalam waktu singkat. Teringat betapa di tempat sendiri, saya pun melebur dalam stratifikasi sosial yang harus patuh pada tradisi. Masyarakat butuh bukti bahwa kita bisa melakukan sesuatu, bukan hanya lewat teori dan kata-kata bijak.
Yang mengherankan adalah betapa mudahnya mereka “ngikut” budaya televisi? Dari mulai anak kecil hingga kakek nenek menjadi murid yang patuh di hadapan kotak hiburan tersebut. Sementara kebanyakan program televisi hanya berorientasi keuntungan materi.
Hujan menemani kami berdua saat pulang. Karena sangat deras dan Mas Edy lupa jas hujannya, terpaksa kami berteduh di sebuah warung reyot pinggir jalan di antara luasnya tegal jagung. Ah, kopi dan kacang goreng di bawah hujan deras terasa begitu nikmat. Alhamdulillah.


MEWARNAI

7 Maret 2016

Beberapa bulan terakhir ini Irfan dan Ilma memiliki dunia baru, yaitu dunia mewarnai. Tidak hanya aktivitas di Taman Kanak-kanak, mereka berdua bahkan mendalami kegiatan tersebut pada sebuah les di kota Bondowoso. Setiap minggu pagi atau selasa sore, bersama ibunya, mereka menempuh puluhan kilometer hanya untuk les mewarnai.
Saya setuju saja pada hal itu asalkan anak-anak menyukainya. Tidak hanya melatih motorik halus, mewarnai juga mengajarkan kesabaran, ketelitian, nilai seni yang saya rasa dapat membesarkan jiwa anak-anak. Beberapa perlombaan mereka ikuti untuk lebih menambah semangat dan kepercayaan diri. Pada pengalaman menang dan kalah sama-sama terdapat pelajaran yang mendewasakan.
Entah apa yang mereka rasakan saat ujung krayon atau spidol di tangan mereka memberi perubahan warna pada bentuk-bentuk dua dimensi di atas kertas. Saya tidak dapat mendeskripsikannya karena memang dulu dunia saya memiliki warna yang berbeda.
Saat sekolah saya baru menyadari bahwa warna-warna adalah “fatamorgana” yang dimunculkan oleh saraf indera kita ketika menangkap pantulan gelombang cahaya yang berbeda. Meskipun kita sepakat warna merah itu seperti apa, namun masing-masing di antara kita tidak dapat memastikan apakah sensasi merah yang kita cerap benar-benar sama.
Ketika mengajar atau berkumpul bersama keluarga, warna-warna setiap orang yang berbeda menyeruak memenuhi ruang dimana kita berinteraksi. Semua adalah unik. Diri saya sendiri adalah coretan krayon di atas kertas, di antara ribuan coretan berwarna yang lain, mencoba untuk menyusun harmoni sehingga hidup ini menjadi lebih indah. Seirama dengan fitrah dari Sang Maha Cahaya.


PASAR TRADISIONAL

27 Februari 2016

Salah satu aktivitas yang saya senangi adalah menemani istri ke pasar. Bersama Irfan dan Ilma, kita nikmati bagaimana kesemrawutan yang klasik. Berbagai aroma tumpang-tindih melebur menusuk hidung. Tapi toh kita pun terbiasa.
Ibu-ibu adalah para penguasa pasar, para bapak tak berdaya di tempat itu. Untuk uang seratus rupiah saja berbagai strategi negosiasi digunakan. Kalau saya amati, sebenarnya mereka tidak cuma mencari untung materi tapi juga kepuasan sosial. Bukankan menurut penelitian komunikasi adalah juga kebutuhan dasar manusia?
Sehabis dari pasar, Irfan dan Ilma biasanya mengajak ke Indomart untuk membeli es krim. Filosofi tempat itu berbalik drastis. Ketenangan, sejuk-wangi, kenyamanan memilih dan kepastian harga benar-benar dijaga. Membuat kita betah.
“Tapi di pasar pak, seribu rupiah uang yang kita keluarkan akan mengalir dari tangan ke tangan memberi keuntungan untuk masing-masing dari mereka. Menghidupkan ekonomi masyarakat. Kalo Indomart semua uang itu akan segera terbang ke Jakarta, meninggalkan ekonomi daerah yang sepi.” Terbayang bagaimana Mas Edi, ekonom di kantor kami, menjelaskan tentang pasar tradisional sahabat masyarakat yang perlahan mati diterjang kapitalis.
Pagi perlahan sirna ketika kita berempat melaju melewati jalan di antara sawah-sawah menghijau. Irfan dan Ilma bernyanyi membayangkan es krim yang nanti mereka nikmati. Sementara kresek yang penuh berisi barang belanja menggelayut senang, menyimak obrolan sang presiden dan menteri ekonominya.


DAN MEMANG MASIH HARUS BELAJAR LAGI

22 Februari 2016

Pada hampir setiap aktivitasnya, seorang muslim membaca bismillahirrahmanirrahim, dengan keyakinan bahwasannya kasih dan sayang Allah selalu mengguyur kita. Tak ada cerita bagi kita untuk merayakan hari kasih sayang tertentu. Setiap waktu selalu penuh kasih, dari Allah dan juga harapannya antar sesama manusia.
Anehnya, Februari tanggal 14 tahun ini ternyata bermakna spesial bagi saya. Bukan karena hari kasih sayang, tapi karena Universitas Negeri Yogyakarta, yang entah kenapa memilih tanggal itu, mengadakan ujian masuk bagi mahasiswa baru.
Jantung saya berdebar-debar, bukan karena jatuh cinta lagi, tapi karena harap-harap cemas. Malam harinya sulit tidur, meski sudah mematikan lampu toh baru pukul dua bisa terlelap. Jadi mikir, beginikah kondisi mahasiswa-mahasiswa saya yang akan menghadapi ujian?
Belajar tidak harus menunggu sekolah lagi. Bagi praktisi pendidikan, belajar bisa dilakukan secara otodidak melalui berbagai jenis media dan pengalaman nyata. Kekaguman saya untuk figur seperti Kyai Idris Jauhari yang menjadikan seluruh hidupnya sebagai kampus. Namun jika sekolah lanjut bisa dilakukan tentu harus saya tempuh, minimal sebagai penyegar ingatan mengenai tugas kita di dunia belajar.
Belajar bagi Ki Hadjar dapat memanusiakan manusia. Hal itu, menurut Cak Nur, terutama disebabkan karena belajar dapat membuat kita menginsyafi betapa besarnya rahman dan rahim Allah. Karena itu belajar menjadi wajib bagi manusia.


MASIH HARUS BELAJAR LAGI

19 Februari 2016

Kening berkerut-kerut mendapati soal kelas dua SD yang dilontarkan ponakan saya. Tentang perbedaan merayap dan melata. “Sepertinya sama saja …” Keraguan akhirnya membuat kami bertanya pada mbah Google.
Ternyata beda, merayap masih menggunakan otot tungkai seperti kadal atau cecak, sedangkan melata benar-benar menggunakan otot perut seperti seekor ular. Karena itu gerak tentara disebut merayap bukan melata.
“Lucu ya, soal anak kelas 2 SD ternyata belum tentu bisa dijawab oleh lulusan S2. Kita memang masih harus banyak belajar lagi ya yah …” itulah akhirnya kesimpulan yang didapat oleh isteri saya.
Pikiran saya ingin sekali menjelaskan bahwa sekolah tidak membuat kita menjadi mesin penghafal. Tidak mungkin kita sanggup mengingat semua materi yang kita pelajari selama puluhan tahun tersebut dengan baik. Yang masih melekat adalah kemampuannya, yaitu bagaimana mencari, memilih dan mengolah informasi untuk memecahkan persoalan, serta berbagai skill yang kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang utama juga adalah membentuk karakter.
“Hehe iya!” Tapi toh kata-kata singkat itu yang keluar dari mulut saya. Bukankah ujung dari belajar, seperti halnya kegalauan yang dialami Einstein, adalah kesadaran bahwa kita hanya tahu ampasnya saja?


PARA PEREMPUAN MASA DEPAN

17 Februari 2016

Berada di depan para calon ibu, guru, ekonom, ilmuwan dan bahkan presiden itu membuat semangat saya membumbung. Melewati atap lantai tiga gedung IDIA Prenduan Jumat sore itu. Kita tak terpengaruh oleh malasnya hujan, yang hanya rintik tak jelas sampai kapan.
Memberi materi kepemimpinan dengan pengalaman yang tidak seberapa seperti saya adalah sebuah simalakama. Tapi saya tak mau hanya memaparkan teori, harus ada kenyataan yang disajikan. Karena itu saya meminta bantuan para pemimpin teladan, mulai dari Baginda Nabi, Soekarno, Kyai Idris hingga Ibu Risma.
Di zaman dimana dunia semakin mirip kampung kecil ini, pemimpin adalah makhluk yang sangat langka. Tumpukan informasi dan iklan bercampur aduk membuat kita sulit memilh, mana yang benar dan mana yang hanya terlihat benar.
“Saya tidak pernah mimpi menjadi pemimpin tapi teman-teman memilih, bahkan memaksa saya!” curhat salah seorang mahasiswi peserta acara tersebut. Pertanyaan adalah sebuah peluang emas bagi setiap guru, saya pun menyambarnya. Inti kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi berlandaskan kepercayaan pun mengalir deras.
“Jangan takut, pilihan teman-teman anda menunjukkan bahwa anda memiliki potensi dan kelebihan.” Saya tidak dapat memastikan apakah benar-benar mereka memahaminya, namun sinar di wajah-wajah itu cukup memuaskan hati.
Saya pulang dengan sekotak kue, kepuasan karena berbagi ilmu dan sekaligus pertanyaan terhadap diri sendiri. Tentang kekalahan pada waktu dan pengetahuan tak seberapa yang semakin usang.