Minggu, 08 Juli 2018

UNTUK APA BELAJAR

29 April 2016

Acara Rasda FM yang khas, tidak pernah berubah, dan saya rasa akan demikian seterusnya adalah renungan malam. Acara ini hanya berlangsung beberapa menit sebelum radio meninggalkan ruang dengar. Berisi tausiah almarhum Kyai Idris Jauhari, yang dulu hanya untuk para santri namun dalam perkembangannya disebarluaskan kepada masyarakat melalui radio.
Terselip di antara lembaran-lembaran buku yang saya baca, renungan malam itu adalah tentang ilmu dan belajar. Karena tertarik, perhatian saya akhirnya tercurah penuh untuk suara Kyai yang diiringi pelan musik kitaro. Buku pun harus sabar mengantri.
Inti pesan beliau sangat singkat, yaitu bahwa ilmu memegang peran sentral dalam Islam. Oleh karena itu seorang muslim, karena keislamannya, akan belajar sepanjang hayat. Ilmu tidak hanya ada dalam Al-Qur’an, buku-buku atau lembaga pendidikan. Allah menurunkan ilmuNya di setiap peristiwa, termasuk peristiwa remeh yang kita alami sehari-hari.
Seakan ada percikan di neuron otak. Menyimak pesan singkat itu saya baru menyadari sesuatu. Tentang berbagai tujuan kita dalam belajar selama ini. Biasanya kita melakukannya (terutama melalui sekolah) karena menginginkan profesi tertentu. Tidak ingin diremehkan atau disia-siakan oleh orang lain. Juga untuk mendapatkan jabatan-jabatan yang dapat meningkatkan harkat dan derajat. Bahkan secara sempit, banyak sekali yang secara tidak langsung menyamakan ilmu dengan ijazah atau gelar akademik. Hingga pada akhirnya membuat mereka berusaha memperolehnya secara instan, yaitu dengan cara curang atau bahkan beli.
Kyai Idris mengingatkan saya dan juga anda semua bahwa belajar adalah tuntutan keimanan dan keislaman. Berbagai dampak material dan sosial darinya hanyalah bonus. Tapi tujuan terdalamnya harus tetap untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tanpa tujuan itu kita bisa tersesat, semakin belajar tapi justru semakin jauh dariNya.
Sepi dan dingin udara malam membuat untaian kata dalam renungan itu benar-benar menusuk. Apalagi saya tahu bahwa selama hidup beliau memang mencerminkan seorang pe-belajar yang demikian gigih.


KAKI PAYUDAN

27 April 2016

Masyarakat Sumenep menyebut dataran tinggi itu Gunung Payudan, walaupun kalau kita lihat literatur istilahnya adalah Bukit Payudan. Tempat tersebut tidak hanya indah, namun juga sarat sejarah. Gua Payudan adalah pertapaan raja-raja Sumenep. Yang paling terkenal adalah Jokotole, raja Sumenep yang berhasil membantu Majapahit mengalahkan pemberontakan Blambangan. Putra dari ratu Sumenep (Potre Koneng) dan raja Sapudi (Adi Poday) yang masih cucu Sunan Ampel Surabaya.
Melihat gunung, saya teringat pesan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa gunung-gunung yang mahabesar itu tidaklah diam. Melainkan juga bergerak seperti geraknya awan. Pantas saja jika kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa Madura dahulu sebenarnya menyatu dengan Jawa.
Kaki Payudan sore itu indah sekali. Langit biru bersih, setelah beberapa jam mencurahkan hujan. Hamparan sawah kuning kehijauan, beberapa di antaranya telah dipanen. Angin berhembus demikian sejuk, berirama gendang musim penghujan. Seluruh sel tubuh saya dapat menikmati kesegaran oksigen yang sangat berharga, walaupun sering diabaikan karena gratis.
Maksud saya ke tempat tersebut adalah mengunjungi kelompok mahasiswa yang sedang budidaya jamur merang. Meskipun bukan dari jurusan pertanian, tapi saya terharu melihat semangat anak-anak muda itu. Usaha belum dapat dikatakan berhasil, masalah datang silih-berganti, tapi mereka pantang menyerah. Seolah-olah dengan semangat itu mereka dapat menggeser Payudan lebih jauh ke barat.
Seperti kata seorang teman, “yang kita miliki sebagai manusia hanyalah harapan dan usaha.” Berbagai teori dan analisis statistik boleh digunakan. Tapi kebaikan yang kita harapkan seringkali tidak terjadi. Yakinlah bahwa ada kebaikan yang lain sebagai penggantinya.
Semua tergantung pada seberapa percaya kita.


ALAM KAMI

24 April 2016

Nikmat yang begitu nyata bagi kami yang hidup di kampung adalah kentalnya persahabatan, antara manusia dan alam. Ya, begitulah yang saya rasakan. Udara, angin, tanah, sungai dan matahari masih tersenyum ramah.
Saat malam tiba, maka langit akan menampakkan wajah asli jagad raya. Ribuan bintang dan galaksi dari jarak tahunan cahaya menyapa. Mereka begitu imut, padahal sebenarnya kitalah yang sangat kecil tak berarti. Di sawah dan rimbun pepohonan, para serangga dan kodok mulai konser.
Semua itu beresonansi dengan keramaian mushalla, dimana anak-anak melantunkan ayat-ayat keagungan Allah. Melalui speaker yang tak seorangpun merasa terganggu karena menganggapnya "polusi suara."
Kampung memang lambat dalam mengikuti perubahan jaman. Tapi di rahimnya akan tumbuh anak-anak dengan kesucian hati, kejernihan berpikir dan semangat belajar. Walau akhir2 ini televisi dan game online juga mulai menebarkan racun.
Meski secara kuantitatif banyak orang kampung yang tergolong miskin, tapi sungguh mereka bukan pemalas. Cuma gaya berpikir mereka berbeda dengan orang kota.
Hidup bagi mereka adalah rentetan peristiwa sakral. Uang tetap mereka butuhkan, namun seringkali bukan yang utama dan tidak menjadi persyaratan seorang mertua terhadap calon menantu laki-lakinya.
Kampung adalah gadis yang tak hilang keperawanan walaupun berulang kali melahirkan. Saya dan keluarga benar2 bersyukur menjadi bagian di dalamnya. Kalaupun nanti harus hijrah, mudah2an kemurniannya tetap menyertai hidup kami.


DINOSAURUS

22 April 2016

Hewan-hewan ini adalah gabungan antara kenyataan dan imajinasi. Bentuk dan cerita tentang mereka adalah magnet yang sangat kuat bagi anak-anak, termasuk Irfan.
Obsesi akan hewan yang dalam bahasa Yunani artinya "kadal yang mengerikan" itu membuat suatu ketika Irfan berkata. "Cita-citaku bukan ingin jadi astronot lagi yah, aku ingin jadi Thyrex."
Hahaha! Mana mungkin manusia menjadi dinosaurus? Tapi begitulah anak-anak. Imaji mereka tak tersekat rasionalitas.
"Kenapa dinosaurus sekarang nggak ada yah?" Dengan gaya anak-anak saya harus menjelaskan bagaimana kepunahan para mahkluk penguasa bumi 65 juta tahun silam itu. Menggunakan cerita teori hantaman meteor.
Kata demi kata yang saya curahkan menerbitkan tatapan dan raut wajah irfan yang demikian penasaran. Bisa saya rasakan, bagaimana fantasinya menggema di ruang jagad raya pikirannya. Pantaslah jika Aristoteles mengatakan bahwa setiap anak terlahir sebagai filsuf.
Sayang, kepolosan anak-anak cepat menghilang. Berganti rasionalitas yang pongah. Kerusakan dan kesemerawutan kita ciptakan di permukaan bumi. Padahal kita tahu bahwa manusia hanyalah debu di ruang kosmik.
Akhirnya, salah satu hikmah berkeluarga yang saya rasakan adalah menginsyafi kembali kedekatan dan kekaguman masa kecil terhadap alam. Pada keagungan Penciptanya.


RUANG UJIAN EMPAT DIMENSI

20 April 2016

Sonneratia alba (Madura: Parapat) adalah salah satu tumbuhan penguasa pantai. Buahnya mirip matahari dalam film teletubbies. Sementara akar-akar nafasnya mirip ujung-ujung tombak yang mencuat, bermunculan dari dalam lumpur pantai yang miskin udara. Menurut literatur, orang-orang Papua menggunakan akar itu untuk bahan pelampung.
Eksistensi setiap spesies pasti lengkap dengan daya hidup dan adaptasinya. Dan kita tahu sentra dari eksistensi tersebut adalah Dia, Al Hayyu - Al Qayyum.
Di bawah sengatan cahaya siang saya mengadakan UTS untuk mata kuliah Pembelajaran Berbasis Kultur Pesisir. Ujian biasanya identik dengan suasana tenang di dalam ruangan. Tapi ini beda, kita mengadakan ujian di luar, tepatnya di pantai. Di ruang empat dimensi, yaitu tiga dimensi untuk eksistensi benda ditambah satu dimensi kultural.
Setiap mahasiswa diwajibkan mengobservasi satu spesies tumbuhan, mencari tahu manfaat kulturalnya dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Tidak mungkin ada yang saling menyontek atau kopas karena tugas masing-masing unik dan kontekstual. Alhamdulillah sepertinya mereka menyukai dan serius mengerjakannya.
Saya teringat pesan John Dewey, “seharusnya sekolah membuat para siswa siap menghadapi kehidupan, bukan malah memisahkan mereka dari kehidupan dan membenci atau takut terhadapnya.” Mudah-mudahan yang kita lakukan menjadi salah satu bentuk pengejawantahan pesan itu.
Ujian tidak dapat dilakukan terlalu lama. Kami berpacu dengan mendung yang datang dan sepertinya siap mencurahkan hujan. Iring-iringan motor kami membelah jalan di kawasan Saronggi Sumenep. Melaju ditemani tiupan angin pesisir yang semerdu petikan gitar arab. Saya yang nebeng pada salah seorang mahasiswa, mengamati mereka semua dengan perasaan tak tergambarkan. Semoga mereka dapat menjadi guru-guru penggerak peradaban.


MAGRIB DI TERMINAL

17 April 2016

Matahari sudah capek dan terlelap di cakrawala barat. Senja ini saya menemui Allah di terminal, untuk dua tiket sekaligus karena alasan perjalanan yang jauh.
Tepat di samping saya yang juga selesai menunaikan shalat, penjual makanan keliling nampak lahap memakan tahu jualannya sendiri. Membuat saya tergoda juga untuk membeli. Dua ribu sebungkus tahu goreng asin dengan bonus dua buah cabe berwarna kuning kehijauan.
Walaupun tidak bisa selahap bapak penjual tahu tapi nikmat juga. Alhamdulillah.
Di tengah deretan tempat duduk beton nampak tanaman puring yang juga lebih segar di senja ini. Mungkin juga baru selesai shalat magrib. Dan berdzikir dalam kebisuan.
Dua bis, Akas dan Damri, telah menunggu puluhan manusia dari Bondowoso ke berbagai tujuan. Terminal sepi tersebut menjadi saksi betapa manusia adalah makhluk yang selalu melakukan perjalanan sepanjang hidupnya. Berputar2, bertukar tempat, dengan berbagai keinginan dan tujuan.
Bis Damri yang saya tumpangi adalah bis terakhir yang meninggalkan terminal bondowoso untuk hari ini. Tatapan bapak tua penjual tahu, dan para tukang becak mengantar kepergian kami. Terminal menjadi tambah sepi.
Dunia juga adalah sebuah terminal besar. Semoga setiap langkah dan detik perjalanan kita selalu dalam lindunganNya dan bernilai ibadah.


MENJADI GURU

14 April 2016

Setiap sore rumah kami menjadi ramai oleh anak-anak yang mau belajar pada istri saya. Awalnya hanya ada satu orang yang menemani irfan dan ilma belajar. Tapi lama-lama hampir seluruh anak tetangga mengikutinya.
Riuh rumah kami oleh suara-suara kecil, kadang juga kotor. Tetapi menyenangkan.
Ingatan saya terbang ke masa tiga puluh tahun silam, pada guru pertama yang mengajarkan membaca. Kami memanggilnya Pak Ripin. Saat itu beliau masih muda. Energik dengan kumis hitam melintang dan suara lantang.
Saya termasuk siswa yang terlambat membaca. Saat teman2 telah menikmati majalah anak, saya hanya bisa melihat dengan iri. Tapi ada hikmahnya juga. Keinginan membaca saya menjadi demikian besar, tak habis2 hingga sekarang.
Cubitan Pak Ripin sangat berkesan. Karena demikian sakit dan meninggalkan jejak yang mungkin tak hilang dalam sehari dua hari. Tapi tak pernah ada anak atau orang tua yang protes. Entah kalau itu terjadi sekarang.
Dengan gaya apapun para guru mengajar kami menerimanya. Orang tua selalu berpesan pada anak-anaknya untuk tidak hanya sekedar mencari ilmu tetapi juga mendapatkan barokah. Peraturan dan kurikulum sekolah berganti. Namun kita tak pernah mengetahuinya. Yang kami ingat hanya guru-guru pengajarnya.
Pendidikan memang semakin canggih seiring modernisasi dan perkembangan teknologi. Tapi toh ia tetap proses menusiawi yang intinya adalah manusia yang menjalankan.


OLEH-OLEH

11 April 2016

Salah satu kebiasaan saya jika pulang adalah membeli buku sebagai oleh-oleh. Terutama untuk Irfan yang senang membaca buku bergambar.
Siang itu saya membelikan Irfan sebuah komik sains. Karena judul yang menarik hati, saya juga mengambil sebuah buku karya Prof. Komaruddin Hidayat berjudul Penjara-penjara kehidupan.
Deru dan pengap bis ekonomi tidak saya rasakan karena nikmatnya sajian buku itu. Apalagi di telinga, melalui head set, mengalun lagu-lagu Sami Yusuf. Keindahan tulisan dan lagu menghadirkan orkestra yang teramat indah di hati dan pikiran. Menjernihkan jiwa.
Waktu berlalu. Penumpang ribut datang dan pergi, toh tidak mengganggu saya.
Jujur, saya merasa iri berat pada orang-orang seperti Prof. Komar dan Sami Yusuf. Setiap dari kita pasti memiliki pekerjaan, tapi saya rasa sangat jarang yang dapat menghasilkan karya indah berskala massal, bahkan universal.
Mereka adalah berlian-berlian peradaban. Dan sudah pasti, jalan panjang dan berat telah mereka lalui. Cuma kita, yang cenderung menyukai yang instan, tidak melihatnya.
Suasana telah menjadi sore ketika bis mulai memasuki kawasan Situbondo. Saya menuliskan status yang anda baca ini sebagai oleh-oleh yang lahir dari iri sekaligus motivasi. Walau ternyata usaha itu masih sebatas menghasilkan batu karang. Atau jika pun ada yang menganggapnya berlian, pastilah dia itu istri saya sendiri.


JALAN-JALAN KE SELURUH DUNIA

8 April 2016

Setiap kali bepergian ke luar kota, entah untuk seminar penelitian, kunjungan akademik atau hal lain, saya teringat pada seorang mahasiswa yang juga sekaligus teman saya. Namanya Galih, mirip dengan nama tokoh dalam legenda Romeo dan Juliet Indonesia.
Tubuhnya tergolong kecil, bahkan lebih kecil dari saya. Agak lambat dalam berbicara, membaca, apalagi menghitung. Namun memiliki keunggulan pada senyum dan kejujurannya. Seingat saya, tidak pernah satu kalipun saya melihatnya marah atau melampiaskan kekesalan pada orang lain.
“Seneng ya jadi bapak, bisa sering jalan-jalan ke luar kota.” Suatu ketika Galih berkata ketika melihat saya hendak ke luar kota karena urusan kampus. “Saya ingin sekali, jalan-jalan ke banyak tempat. Bahkan kalau bisa ke seluruh dunia.” Kata-katanya yang terakhir itu disambut gelak tawa teman-teman. Saya tersenyum kasihan, dengan kemampuan dan tubuh yang seperti itu mana mungkin? Galih juga ikut tertawa, seperti biasanya.
Tapi rupanya Allah mendengar perkataan yang kami jadikan bahan tertawaan itu. DisusupkanNya keberanian dan tekad di hati Galih. Sejak itu, setiap kali mendapat rizki ia selalu gunakan untuk jalan-jalan ke berbagai penjuru Indonesia. Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara, Sulawesi, dikunjunginya hanya untuk jalan-jalan.
Suatu ketika ia membuat paspor. Ketika saya tenya untuk apa, ia menjawab, “pingin tahu aja pak, bagaimana rasanya buat paspor hehehe ..”
Galih lulus kuliah dengan predikat keberuntungan. Akademik memang bukan jalan hidupnya. Tapi Allah Maha Adil, tidak ada makhluk yang luput dari kasihNya. Melalui facebook saya senantiasa dapat berkomunikasi dengan mahasiswa saya itu. Sudah tiga tahun ia bekerja di Arab Saudi sebagai pelayan restoran. Setiap musim haji ia menjadi pemandu terutama untuk orang-orang Indonesia. Dan tentu saja menunaikan haji untuk dirinya sendiri. Sedangkan saya, dosennya, mencium bau Masjidil Haram saja masih hanya dalam mimpi.
Seandainya saya bertanya kenapa ia begitu jauh bekerja sebagai pelayan restoran, saya yakin jawabannya adalah untuk jalan-jalan. Subhanallah wa Bihamdihi.


PANTAI MANGROVE

4 April 2016

Pandangan saya tenggelam dalam lautan rhizophora (tenjhang) dan Avicennia (api-api). Panas yang begitu menyengat seolah tak terasa. Beberapa kali kamera yang saya bawa mengabadikan spesies unik penghuni pantai tersebut.
Hari itu saya mengajak mahasiswa untuk mengamati lingkungan pantai. Mereka belajar untuk menjadi guru IPA yang dekat dengan alam, khususnya alam pesisir Sumenep.
Dalam IPA banyak sekali terdapat teori yang harus diajarkan. Hal tersebut seringkali membuat para guru salah langkah, terlalu sibuk mengajarkan teori sampai-sampai lupa pada alamnya sendiri yang demikian indah dan mengagumkan. Akibatnya para siswa hanya megenal IPA yang penuh konsep abstrak yang harus dihafal dan dipahami.
Saya yakin, bahwa kekaguman terhadap alam dan penciptanya adalah inti dari kesuksesan belajar IPA. Seperti itu juga Ibnu Sina, Newton, atau Einstein belajar dan menemukan teori baru. Sajikan anak-anak kekaguman, dan dari hati mereka akan muncul energi besar untuk mengeksplorasi dan meneliti. Sayang, banyak guru dan sekolah yang menganggap buku saja sudah cukup.
Tidak hanya belajar IPA, bahkan dalam beribadah pun sering kita terjebak. Terfokus pada ritual dan aturan hingga tidak menyadari bahwa kekaguman kepadaNya justru memudar.
Kira-kira jam satu kami meninggalkan kawasan pantai Penggir Papas. Ratusan bangau seolah mengantar dan mengucap salam. Tambak-tambak di sepanjang perjalanan menjadi saksi kicau riang para mahasiswa. Entah apa saja yang mereka bicarakan.


PUTRI

31 Maret 2016

Ilma tidak secerdas mas-nya di bidang bahasa atau matematika. Ia lebih suka mewarnai, menari atau bernyanyi. Yang lebih utama, ia sangat penyayang seperti ibunya. Dan menurut saya itu adalah kelebihan utama seorang manusia. Sebagai pantulan sifat Allah yang utama yaitu Rahman dan Rahim.
Jika ditanya tentang cita-cita, maka jawabannya ringan dan yakin untuk menjadi seorang putri. Seperti para putri dongeng dalam film-film kartun yang disukainya. Meski tidak secantik putri dogeng, saya yakin bagi setiap orang tua, anak-anak perempuan adalah putri tercantik di hati mereka.
Tapi, menjadi orang tua di zaman ini adalah suatu cobaan besar.
Media, terutama televisi dan internet, setiap hari telah menculik anak-anak dari para orang tua dan guru mereka. Jika tidak benar-benar hati-hati dengan berbagai tayangan yang mereka lihat, maka tiba-tiba anda akan bertemu dengan omongan dan tingkah yang berbeda dari anak-anak. Padahal anda tidak pernah mengajarkan atau mencontohkan hal tersebut!
Semakin bertambah usia maka dunia mereka akan semakin luas. Teman-teman perlahan akan menggantikan prioritas perhatian mereka ketimbang ayah atau ibu. Kita tidak mampu menghentikannya karena itu proses alami (sunnatullah). Perhatian, teladan, nasehat dan doa adalah apa yang bisa kita lakukan.
Semakin hari anak-anak semakin bertambah besar. Namun teringat pada kata-kata ibu saya sendiri, bahwa di mata seorang ibu, anak-anak tidak pernah berubah besar. Kekhawatiran dan kecemasannya sama seperti dulu, meskipun saat ini anak-anaknya bahkan telah mampu menggendongnya.


DHUHUR

27 Maret 2016

Waktu dhuhur sudah tiba. Beberapa penghuni kampus cemara, termasuk saya, tampak melangkah menuju masjid.
Masjid Manarul Ulum adalah bangunan kecil tercinta kami. Berwarna kebiruan dengan ciri masjid pada umumnya yaitu kubah yang melambangkan lingkaran langit ciptaan Allah. Posisinya di tengah-tengah kampus seperti hendak menunjukkan cita-cita para pendiri kampus untuk menempatkan ibadah sebagai jantung dari semua aktivitas akademik. Selain mereka yang hendak menunaikan shalat di dalam masjid, teras luar tampak ramai oleh mahasiswa yang sibuk dengan tugas-tugas kuliah.
Aliran air wudhu membilas suci muka, kedua tangan, kepala, telinga dan kaki. Ah, harapan saya, diri ini telah cukup suci untuk menghadapNya.
Kita mempersepsi masjid sebagai gabungan dari bangunan, kubah, air wudhu, sajadah, mimbar dan juga orang-orang shalat. Demikian pula kita mempersepsi dunia dan diri kita sendiri, yaitu sebagai hubungan antara berbagai obyek atau peristiwa. Bahkan rasa senang atau susah, hadir dalam diri kita sebagai akibat dari hubungan peristiwa-peristiwa tertentu yang kita alami.
Shalat mengharuskan kita melepas semua ikatan dengan dunia. Hingga yang tertinggal adalah hubungan kita dengan Tuhan. Rukuk dan sujudnya badan harapannya membekaskan rukuk dan sujud di hati kita.
Siang itu begitu cerah. Matahari, awan-awan putih, aneka bangunan kampus, batu-batu dan cemara seolah turut bermakmum pada kita di Manarul Ulum.


MEMBERI KEBAHAGIAAN

22 Maret 2016

Setiap sore, ritual saya adalah menunggu bis mini yang akan membawa saya pulang. Lama tunggu itu bisa lima menit, sepuluh menit, satu jam atau bahkan lebih. Bis mini di sini tidak punya jadwal tetap. Di bawah kanopi pepohonan yang juga seolah telah lelah saya terlatih untuk sabar menunggu. Karena itu, saya seakan-akan mampu melihat bayangan kecil bis mini yang jaraknya masih satu kilometer.
Senyum saya pun merekah. Ternyata bahagia itu bisa sangat sederhana ya.
Saat kecil, terutama di hari libur sekolah, saya suka sekali membeli jajan pada seorang ibu penjual jajan keliling. Sambil membawa bakul besar berisi beraneka jajan ibu itu akan berteriak, “jajaaan .. jajaan…” Dari jauh suaranya sudah membuat saya gembira.
Sebaliknya, suasana hati saya terasa diselimuti mendung tebal jika sang ibu tidak berjualan. Walaupun di rumah telah tersedia makanan lain yang mungkin menurut banyak orang lebih enak dan mahal tapi rasanya tetap tidak bisa menggantikan jajan yang ibu itu jual.
Peristiwa-peristiwa tersebut membuat saya sadar bahwa semua jenis pekerjaan yang kita lakukan berpotensi untuk memberikan kebahagiaan pada orang lain. Karena itu jangan pernah minder, sebagai apa pun diri anda.
Sejatinya, kebahagiaan itu datang dari Allah. Tapi Dia memberikannya dengan cara yang sangat romantis dan tanpa kita sangka-sangka. Alhamdulillah