Kamis, 01 Desember 2016

PASAR TRADISIONAL

27 Februari 2016

Salah satu aktivitas yang saya senangi adalah menemani istri ke pasar. Bersama Irfan dan Ilma, kita nikmati bagaimana kesemrawutan yang klasik. Berbagai aroma tumpang-tindih melebur menusuk hidung. Tapi toh kita pun terbiasa.
Ibu-ibu adalah para penguasa pasar, para bapak tak berdaya di tempat itu. Untuk uang seratus rupiah saja berbagai strategi negosiasi digunakan. Kalau saya amati, sebenarnya mereka tidak cuma mencari untung materi tapi juga kepuasan sosial. Bukankan menurut penelitian komunikasi adalah juga kebutuhan dasar manusia?
Sehabis dari pasar, Irfan dan Ilma biasanya mengajak ke Indomart untuk membeli es krim. Filosofi tempat itu berbalik drastis. Ketenangan, sejuk-wangi, kenyamanan memilih dan kepastian harga benar-benar dijaga. Membuat kita betah.
“Tapi di pasar pak, seribu rupiah uang yang kita keluarkan akan mengalir dari tangan ke tangan memberi keuntungan untuk masing-masing dari mereka. Menghidupkan ekonomi masyarakat. Kalo Indomart semua uang itu akan segera terbang ke Jakarta, meninggalkan ekonomi daerah yang sepi.” Terbayang bagaimana Mas Edi, ekonom di kantor kami, menjelaskan tentang pasar tradisional sahabat masyarakat yang perlahan mati diterjang kapitalis.
Pagi perlahan sirna ketika kita berempat melaju melewati jalan di antara sawah-sawah menghijau. Irfan dan Ilma bernyanyi membayangkan es krim yang nanti mereka nikmati. Sementara kresek yang penuh berisi barang belanja menggelayut senang, menyimak obrolan sang presiden dan menteri ekonominya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar