Minggu, 08 Juli 2018

MENJADI GURU

14 April 2016

Setiap sore rumah kami menjadi ramai oleh anak-anak yang mau belajar pada istri saya. Awalnya hanya ada satu orang yang menemani irfan dan ilma belajar. Tapi lama-lama hampir seluruh anak tetangga mengikutinya.
Riuh rumah kami oleh suara-suara kecil, kadang juga kotor. Tetapi menyenangkan.
Ingatan saya terbang ke masa tiga puluh tahun silam, pada guru pertama yang mengajarkan membaca. Kami memanggilnya Pak Ripin. Saat itu beliau masih muda. Energik dengan kumis hitam melintang dan suara lantang.
Saya termasuk siswa yang terlambat membaca. Saat teman2 telah menikmati majalah anak, saya hanya bisa melihat dengan iri. Tapi ada hikmahnya juga. Keinginan membaca saya menjadi demikian besar, tak habis2 hingga sekarang.
Cubitan Pak Ripin sangat berkesan. Karena demikian sakit dan meninggalkan jejak yang mungkin tak hilang dalam sehari dua hari. Tapi tak pernah ada anak atau orang tua yang protes. Entah kalau itu terjadi sekarang.
Dengan gaya apapun para guru mengajar kami menerimanya. Orang tua selalu berpesan pada anak-anaknya untuk tidak hanya sekedar mencari ilmu tetapi juga mendapatkan barokah. Peraturan dan kurikulum sekolah berganti. Namun kita tak pernah mengetahuinya. Yang kami ingat hanya guru-guru pengajarnya.
Pendidikan memang semakin canggih seiring modernisasi dan perkembangan teknologi. Tapi toh ia tetap proses menusiawi yang intinya adalah manusia yang menjalankan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar