Minggu, 08 Juli 2018

KAKI PAYUDAN

27 April 2016

Masyarakat Sumenep menyebut dataran tinggi itu Gunung Payudan, walaupun kalau kita lihat literatur istilahnya adalah Bukit Payudan. Tempat tersebut tidak hanya indah, namun juga sarat sejarah. Gua Payudan adalah pertapaan raja-raja Sumenep. Yang paling terkenal adalah Jokotole, raja Sumenep yang berhasil membantu Majapahit mengalahkan pemberontakan Blambangan. Putra dari ratu Sumenep (Potre Koneng) dan raja Sapudi (Adi Poday) yang masih cucu Sunan Ampel Surabaya.
Melihat gunung, saya teringat pesan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa gunung-gunung yang mahabesar itu tidaklah diam. Melainkan juga bergerak seperti geraknya awan. Pantas saja jika kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa Madura dahulu sebenarnya menyatu dengan Jawa.
Kaki Payudan sore itu indah sekali. Langit biru bersih, setelah beberapa jam mencurahkan hujan. Hamparan sawah kuning kehijauan, beberapa di antaranya telah dipanen. Angin berhembus demikian sejuk, berirama gendang musim penghujan. Seluruh sel tubuh saya dapat menikmati kesegaran oksigen yang sangat berharga, walaupun sering diabaikan karena gratis.
Maksud saya ke tempat tersebut adalah mengunjungi kelompok mahasiswa yang sedang budidaya jamur merang. Meskipun bukan dari jurusan pertanian, tapi saya terharu melihat semangat anak-anak muda itu. Usaha belum dapat dikatakan berhasil, masalah datang silih-berganti, tapi mereka pantang menyerah. Seolah-olah dengan semangat itu mereka dapat menggeser Payudan lebih jauh ke barat.
Seperti kata seorang teman, “yang kita miliki sebagai manusia hanyalah harapan dan usaha.” Berbagai teori dan analisis statistik boleh digunakan. Tapi kebaikan yang kita harapkan seringkali tidak terjadi. Yakinlah bahwa ada kebaikan yang lain sebagai penggantinya.
Semua tergantung pada seberapa percaya kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar