Berada di depan para calon ibu, guru, ekonom, ilmuwan dan bahkan presiden itu membuat semangat saya membumbung. Melewati atap lantai tiga gedung IDIA Prenduan Jumat sore itu. Kita tak terpengaruh oleh malasnya hujan, yang hanya rintik tak jelas sampai kapan.
Memberi materi kepemimpinan dengan pengalaman yang tidak seberapa seperti saya adalah sebuah simalakama. Tapi saya tak mau hanya memaparkan teori, harus ada kenyataan yang disajikan. Karena itu saya meminta bantuan para pemimpin teladan, mulai dari Baginda Nabi, Soekarno, Kyai Idris hingga Ibu Risma.
Di zaman dimana dunia semakin mirip kampung kecil ini, pemimpin adalah makhluk yang sangat langka. Tumpukan informasi dan iklan bercampur aduk membuat kita sulit memilh, mana yang benar dan mana yang hanya terlihat benar.
“Saya tidak pernah mimpi menjadi pemimpin tapi teman-teman memilih, bahkan memaksa saya!” curhat salah seorang mahasiswi peserta acara tersebut. Pertanyaan adalah sebuah peluang emas bagi setiap guru, saya pun menyambarnya. Inti kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi berlandaskan kepercayaan pun mengalir deras.
“Jangan takut, pilihan teman-teman anda menunjukkan bahwa anda memiliki potensi dan kelebihan.” Saya tidak dapat memastikan apakah benar-benar mereka memahaminya, namun sinar di wajah-wajah itu cukup memuaskan hati.
Saya pulang dengan sekotak kue, kepuasan karena berbagi ilmu dan sekaligus pertanyaan terhadap diri sendiri. Tentang kekalahan pada waktu dan pengetahuan tak seberapa yang semakin usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar