Berkunjung ke mahasiswa KKN saya anggap sebagai sebuah rekreasi. Di atas motor Mas Edy saya menikmati betapa kaya alam kita. Sawah-sawah dan ladang yang ditumbuhi padi atau jagung pancarkan gelombang hijau klorofil menembus mata. Sementara ratusan capung beterbangan riang, menjadi bioindikator bahwa air di kawasan itu masih belum tercemar.
Keluh kesah para mahasiswa menyambut kedatangan kami. Berbagai cerita dan pengalaman tidak menyenangkan segera berhamburan. Saya hanya tersenyum sambil membesarkan hati mereka, “Memang tujuan utama KKN ini agar kalian dapat mengalami secara langsung pahit getir kehidupan desa, sembari berupaya menerapkan ilmu.”
“Yang paling sulit adalah mengubah pola pikir para orang tua pak, mereka menganggap kami sebagai anak-anak kemarin sore yang nggak tahu apa-apa,” curhat sang ketua. Kembali saya mengingatkan bahwa pola pikir tidak bisa berubah dalam waktu singkat. Teringat betapa di tempat sendiri, saya pun melebur dalam stratifikasi sosial yang harus patuh pada tradisi. Masyarakat butuh bukti bahwa kita bisa melakukan sesuatu, bukan hanya lewat teori dan kata-kata bijak.
Yang mengherankan adalah betapa mudahnya mereka “ngikut” budaya televisi? Dari mulai anak kecil hingga kakek nenek menjadi murid yang patuh di hadapan kotak hiburan tersebut. Sementara kebanyakan program televisi hanya berorientasi keuntungan materi.
Hujan menemani kami berdua saat pulang. Karena sangat deras dan Mas Edy lupa jas hujannya, terpaksa kami berteduh di sebuah warung reyot pinggir jalan di antara luasnya tegal jagung. Ah, kopi dan kacang goreng di bawah hujan deras terasa begitu nikmat. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar